Sebagai kaum middle yang menghubungkan kalangan bawah dan atas, mahasiswa merupakan penyampai pesan atau keluhan golongan rendah ke golongan yang lebih tinggi. Banyak cara yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menyampaikan hal tersebut. Terlebih, Indonesia merupakan Negara demokrasi yang berasas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam masalah penyampaian ini, cara yang paling dominan dan sering terlihat adalah dengan cara demonstrasi (demo; Red).
Pada hakekatnya, unjuk rasa atau yang biasa disebut demonstrasi
sendiri merupakan satu dari berbagai cara untuk menyampaikan aspirasi,
tanggapan, serta keluhan golongan yang lebih rendah kepada golongan yang lebih
tinggi dalam jumlah masa yang cukup banyak. Demokrasi bebas di lakukan oleh
siapapun, asalkan mengikuti prosedur yang telah di tentukan. Tetapi, bagaimana
jika demonstrasi yang tujuan utamanya sebagai penyampai aspirasi menjadi kedok
untuk bertindak rusuh?
Jika meninjau kembali pengertian dasarnya, tidak pantas jika dalam
demonstrasi terdapat aksi rusuh dan brutal dari para demonstran. Seperti yang
dapat diambil dari kasus hangat unjuk rasa mahasiswa fakultas syariah Institut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya beberapa hari yang lalu.Unjuk rasa yang
digelar di depan kantor rektorat tersebut bukan merupakan pencerminan dari kata
demonstrasi. Pasalnya, tindakan para demonstran yang brutal telah menyimpang
jauh dari tata cara berunjuk rasa yang dibenarkan.
Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya kini sedang menjadi
perbincangan di masyarakat umum karena aksi brutal yang dilakukan saat demo
berlangsung. Itu dikarenakan para demonstran telah merusak beberapa fasilitas
dan bertindak anarkis. Bisa dibilang, bukannya melakukan aksi unjuk rasa atau
demo, tapi lebih tepatnya lagi mahasiswa melakukan aksi penyerangan kantor yang
menjadi tempat bertugas bagi para pejabat tertinggi di IAIN Sunan Ampel
tersebut. Sebagai intelektual muda, tidak sepantasnya mahasiswa melakukan hal seperti itu. Isu
yang santer terdengar, ulah tersebut
dilakukan berkenaan pusat pengembangan mahasiswa (PUSPEMA) sebagai
faktor utamanya.
Ironis memang. Bukan hanya karena mahasiswa tersebut telah menyalah
artikan demonstrasi, tapi juga karena pelaku aksi brutal tersebut tengah
menjalani kuliah di institute yang mengajarkan agama secara lebih mendalam.
Bila yang dipandang oleh masyarakat adalah point kedua, tentunya masyarakat
akan memandang ketinggian akhlak pada diri setiap penghuni institute. Namun
saat ini, segala bentuk kesangsian telah muncul di benak masyarakat luas
perihal kebaikan moral tersebut karena tercemar oleh aksi unjuk rasa brutal
rabu silam.
Bila membuka lagi peristiwa demonstrasi sebelumnya, dimungkinkan
unjuk rasa ini dilakukan sebagai tanda kekesalan para mahasiswa karena tidak
didengarkannya aspirasi mereka oleh pihak yang bersangkutan.
Ulah para mahasiswa ini tentunya telah mencemarkan nama baik IAIN
secara hampir keseluruhan. Nama IAIN dan keefensiasinya dalam mendidik generasi
yang agamis menjadi cacat di mata masyarakat.
Berkenaan dengan aksi demo ricuh beberapa saat lalu, kini kabar
angin yang beredar menyebutkan bahwa para mahasiswa khususnya semester 2, akan
di berikan pembekalan ilmu akhlak dalam format kelas intensif. Jika itu benar,
mungkin saja itu merupakan reaksi rektor yang tidak menginginkan hal yang sama terulang
kembali. Bisa jadi ini juga sebagai salah satu bentuk pemulihan nama baik IAIN
yang saat ini sudak tercemar di masyarakat luas.
0 komentar:
Posting Komentar